Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 26 Februari 2017

Syihabul Furqon (Syihabul Hajj)

Jual Sepatu Adidas Slip On Casual Kulit Murah Santai #kickers#slop#casual - Toko Sepatu Online BDG 4 | Tokopedia

Jual Sepatu Adidas Slip On Casual Kulit Murah Santai #kickers#slop#casual - Toko Sepatu Online BDG 4 | Tokopedia: Jual Sepatu Adidas Slip On Casual Kulit Murah Santai #kickers#slop#casual, Adidas Slip On dengan harga Rp 160.000 dari toko online Toko Sepatu Online BDG 4, Bandung. Cari produk slip on lainnya di Tokopedia. Jual beli online aman dan nyaman hanya di Tokopedia.
Read More

Senin, 29 Agustus 2016

Syihabul Furqon (Syihabul Hajj)

Ilafat

puisi, puisi remaja, puisi hujan
Ilafat  -  By Syihabul Hajj
Beri aku rahasia hujan

Yang fasih mengeja daun
Melafalkan surat daritanah
Risalah angin dan ilafat mendung

Beri aku rahasia hujan
Yang kuyupkan tubuhmu
Yang tabuh jiwakita jadi tembang
Jadi serpih tempias

:sebelum keduabadan kita kian erat
Saling bakar dalam kobar gigil

/Sumedang/29/08/2016/
Read More
Syihabul Furqon (Syihabul Hajj)

Agama Pas

frithjof schuon, agama pas, agama cinta, kedamaian beragama
Agama Pas  -  By Syihabul Hajj

“Barangsiapa bertindak keterlaluan, 
pasti akan menyimpang dari kebenaran” 
—Imam Ali, Karramallah Wajhah

AGAMA—terlebih agama yang dikenal dan dikukuhkan manusia sekarang—datang dari dua arah ranah: langit dan bumi. Dari dua arah dan ranah ini subjek dan objek silih berganti. Ada kalanya subjeknya Tuhan dan objeknya manusia—atau subjeknya manusia dan objeknya Tuhan. Kedua hal ini berpengaruh pada satu persepsi mengenai sentrisme: entah itu antroposentris atau logosentris. Karenanaya jika logika yang digunakan oposisi biner, maka implikasi yang mengikutinya juga akan mengkutub di satu bilah.

Dalam skema logosentris, yang menjadi sentral adalah Tuhan. Agama dimaksudkan semata-mata untuk meraih singgasana keilahian semata. Jikapun yurisprudensi ditata dan hukum diatur semata-mata untuk memistari laku manusia. Segala sesuatu yang tak pas dengan kehendak yurisprudensi itu dipapakkan sedemikian rupa. Manusia dengan segala diversitasnya—baik secara mental dan spiritual—adalah nista adanya: produk sebuah tingkatan eksistensi rendah. Oleh karena itu, manusia adalah abdi Ilahi. Titik! Agama adalah produk baku, padat dan siapguna.

Lain hal jika antroposentris. Pusat adalah manusia, sebab itu Agama turun atau timbul ke permukaan disebabkan oleh urgensitas manusia. Agama adalah jawaban dari kebutuhan manusia pada yang Ilahi. Jika selama ini manusia banyak menemukan di lingkungannya sebuah kaos, berupa ketaktertataan, maka ia akan meninjau ke luar dirinya dan mencari kosmos. Artinya, manusia merindukan sebuah ekuilibrium kosmologis yang melampaui kehidupannya yang terlampau kaos.

Tapi titik pusat adalah manusia. Jika kemudian agama ada—sejauh tatapan antroposentris ini—maka ia hanya sebuah garis yang tak tegak lurus. Jika ada garis dan batas, maka ia harus sesuai dengan apa maunya manusia. Di sini agama berdinamika dengan semua perubahan pada manusia. Demikian pula dengan yurisprudensi, terus diubahsuai. Tidak hanya sebatas itu, Tuhan sebagai satu cita-cita luhur direkonstruksi, atau bila perlu didekonstruksi. Semakin reduktif Tuhan, semakin subtil manusia bisa mengenalnya.

Kemudian implikasi dari kedua pengkutuban ini akan tampak pada bagaimana agama bekerja sebagai sebuah tata dan cara dalam kehidupan. Jika kita meninjau ujung dari kutub logosentris, kita akan menemukan tatanan sosial yang baku, kaku dan tak pandang bulu. Bagaimanapun manusia tak bisa bernegosiasi mengenai tatanan Ilahiyah yang datang sebagai hukum. Dari jihat ini kita akan menemukan darah dialirkan demi agama, demi Ia yang singgasana-Nya hanya bisa dijangkau oleh pekik pada liyan, oleh seruan yang kadang hanya bisa diterjemahkan oleh gada, hunus dan berangus. Di titik ini, agama jadi sesuatu yang semena-mena.

Sedangkan ujung dari antroposentris, kita akan menemukan bahwa agama adalah alat. Sifat sebuah alat tak lebih unggul dari penggunanya: manusia. Manusia mencari Tuhan, tapi sejak semula ia menuhankan dirinya sendiri dengan kemutlakan relatif. Agama, karenanya menjadi relatif, juga Tuhan dan hukum yang menyertainya. Manusia mengangankan sebuah kosmos yang dirumuskan sejak semula oleh kaos. Titik beku (dead lock) dari kutub ini adalah sebuah fenomena sahihnya segala hal. Desakralisasi pada tatanan Ilahi yang—tentu saja tak tepermanai—adalah tanda fenomena sosialnya.

Kekeramatan, khidmat, dan kerendahdirian pada keindahan (beauty), kontemplasi dan kesabaran, sebagai gerbang dan Ibu bagi kelahiran manusia ke dunia Ilahi yang kosmos terkikis dan putus. Di hadapan mata seorang antroposentris naif, waktu adalah segala-galanya. Simultanitas tak terbatas dari waktu menyegerakan dan menggerakkan manusia untuk berlaku produktif di hadapan dunia-realitas. Di titik ini, rahim agama yang di dalamnya terdapat kesakralan yang di antaranya: waktu suci, ruang suci, tindakan suci dan ucapan suci—boyak dan koyak. Dari ranah ini tak akan terlahir tatanan realitas yang solid, karena agama adalah angan-angan.

Kedua paradoks yang penulis kemukakan di atas adalah wajah agama sekarang ini. Kebingungan dasariah ini sudah tak lagi wajar, karena menyita aspek fisik lebih banyak dan perhatian lebih dari setiap manusia. Di sini tak ada pengecualian bahkan bagi mereka yang tak masuk dalam kategori beragama. Bagaimanapun apatisme dan syakwasangka akan memperrumit kejernihan yang musti ditempuh demi sebuah ekuilibrium: berkenaan dengan dua paradoks besar ini. Spiritualitas yang diharapkan berperan sebagai jantung pertemuan antara Tuhan dan manusia sedang diambang punah. Hal ini disebabkan oleh deras dan semakin mengkristalnya dua kutub di atas tadi. Agama ramah selalu dibantah oleh agama marah. Manusia juga selalu terjebak oleh kategori yang dibuatnya sendiri. Tapi juga kita tak selalu setuju dengan arus posmodern yang serba relatif itu.


Agaknya, persoalan kita di zaman ini bukan perkara bagaimana agama jadi ramah, atau manusia jadi tak berlebihan. Melainkan sebuah masa dimana setiap orang musti mencari satu kata “pas” yang bukan semata-mata relatif dan karenanya tiap orang jadi benar. Tapi sebuah “pas” yang teduh dimana manusia bisa bernaung, entah dari kesemena-menaan agama dan atau dari manusia itu sendiri. Yakni sebuah “pas” yang telah ada sejak permulaan jagat tercipta sebagaimana QS: 25: 2. Dimana “pas” ini adalah, sebagai apa yang oleh Frithjof Schuon katakan: pertemuan antara Tuhan sebagaimana adanya, dengan manusia sebagaimana adanya.[]
Read More

Sabtu, 27 Agustus 2016

N. Roshan Hr

Pengaruh Domain Ber-Hyphen Terhadap SEO

seo, domain hyphen
Pengaruh Domain Berhyphen
Pengaruh domain berhyphen terhadap seo. Apakah anda tahu apa itu hyphen? Hyphen (-) adalah salah satu punctuation atau tanda baca yang digunakan untuk membentuk makna yang utuh pada kata. atau secara bahasa sederhananya hyphen adalah penghubung yang disimbolkan dengan tanda (-) 

Mungkin ada pernah bertanya-tanya apakah domain yang memakai tanda baca ini akan mempengaruhi SEO sebuah blog atau website anda? mari kita simak jawaban nya disini. apakah tanda baca ini mempengaruhi daripada domain tanpa tanda penghubung ini. Karena tanda baca ini juga sering kali digunakan untuk menjadi alternatif lain karena domain tanpa tanda baca beryphen sudah digunakan oleh orang lain. Misalnya saja orang menggunakan domain www.inimerksaya.com dan karena domain itu sudah digunakan maka anda memilih alternatif dengan menggunakan domain berhyphen seperti www.ini-merk-saya.com. Maka inilah yang akan saya bahas disini, apakah domain ini akan mempengaruhi SEO anda?

Maka jawaban nya adalah Search Engine sebenarnya tidak perduli apakah nama domain itu berhyphen atau tidak, mempunya tanda pisah apapun, angka dan yang lain nya. karena yang paling penting adalah isi konten dari website anda tersebut. Akan tetapi mungkin ini berkaitan dengan brand anda, karena ini akan mewakili sebuah brand anda itu. 

Karena ada juga pendapat yang mengatakan bahwa jika domain anda memiliki tanda pisah seperti itu, akan mempengaruhi terhadap SERP Tentu saja pendapat itu jelas sangat salah karena mesin pencari tidak memperdulikan hal seperti itu. Bahkan anda sering meilihat domain yang aneh pun akan menjadi nomor satu di pencarian jika konten nya baik dan kualitas tulisan nya yang baik.
Read More

Kamis, 25 Agustus 2016

Syihabul Furqon (Syihabul Hajj)

Don Quixote, Buku dan Gairah Edan

don quixote, cerita don quixote, buku
Cerita Don Quixote
Cerita Don Quixote - Di abad-abad silam, sahibul hikayat Seyyed Ahmad Benengeli mengisahkan perjalanan kekesatriaan yang luhur—atau bisa kita anggap konyol dan sia-sia—yang secara baik diteruskan dan dicatat oleh Miguel De Cervantes. Epik majenun-imajinatif Petualangan Don Quixote tentu saja bukan hanya sekedar cerita sebelum tidur bagi anak-anak—bahwa sejatinya buku merupakan pemantik bagi imajinasi. Lebih dari itu, petualangan yang ditempuh Quixote adalah kesedihan (seperti diungkapkan Goenawan Mohammad) dan juga perayaan atau tepatnya karnaval kegilaan. Orang-orang di zaman ini akan mengidentifikasinya sebagai gejala Posmodernisme. Yakni suatu sikap dimana yang banal dirayakan tapi sekaligus simptom skizofrenik juga ikut meluap. Anehnya Quixote tak melulu berada dalam waham dan syakwasangka. Ia memegang satu pendirian unik, jika tidak dikatakan iman. Dalam hal ini iman bagi Don Quixote de La Mancha adalah ketulusan hati, rasa welas, cinta yang tulus, dan derma, juga ikhlas pada takdir kesatria.

Pun tak ada yang menyangkal bahwa dalam hal-hal tertentu kegilaannya mirip Majenun pada Layla atau Gibran pada Salma, atau Sandip pada Bimala: atau mungkin justru bermula dari satu akar tradisi Benengeli sendiri. Yang pasti, Don Quixote merupakan representasi dari kematian (death) dan kehidupan kembali (resurrection). Yang mati di hikayat itu adalah kemandekan yang juga berarti kebuntuan. Sedangkan yang bangkit adalah kebebasan dan keliaran eksistensial.

Dalam diri manusia tentu kia mengenal kematian eksistensial dimana tubuh tak lagi dialiri darah dan ditinggal nyawa. Tapi ada mati yang lain, yakni kemandekan. Yaitu fase dimana tak ada lagi sesuatu yang menarik untuk dijalani. Realitas monoton dan itu-itu saja, tak ada transformasi apa lagi revolusi. Laku sehari-hari kehilangan ruh dan girahnya. Imajinasi padam sama sekali dan manusia berada pada level kegelapan.

don quixote, cerita don quixote, buku
Don Quixote

Karena itu wahyu perlu turun (revelation). Dalam hikayat Don Quixote wahyu tentu bukan kepak sayap malaikat Jibril yang memekakan telinga. Wahyu yang diturunkan Tuhan pada Don Quixote adalah tanda dan kelakar. Tak dipungkiri bahwa manusia sesekali perlu untuk menertawakan parilakunya, tindakannya. Don Quixote berdiri dan menari di atas panggung itu. Hikayatnya sendiri adalah wahyu bagi manusia yang sejatinya diliputi tindakan gawal. Karena Tuhan adalah kasih itu sendiri maka ia mengetengahkan Don Quixote untuk  menjadi salah satu tanda dan suar. Maksudnya adalah bahwa hanya dalam Iman yang seliar Don Quixote lah kita akan menemukan tualang yang hidup, berdarah dan berdaging. Dalam bahasa kita sekarang: petualangan yang greget. Maka, Don Quixote de la Mancha menghidupkan apa yang sebelumnya mati: imajinasi, kejutan, gairah, spontanitas, cinta, petualangan dan buku (yang dianggap terkutuk) tentu saja. Jika dilihat dari kacamata orang biasa (baca: waras), tak ada yang baru dalam tindakan segila Don Quixote. Tapi jika kita masuk sedikit ke dalam, Don Quixote dengan tindakannya menawarkan satu perspektif baru. Yakni melihat segalanya dengan kacamata proses kebaruan. Setiap hal adalah baru dan karenanya tindakannya juga baru: meski tujuannya sama.

Tapi bisakah kita membayangkan bagaimana Don Quixote berpetualang tanpa Sancho dan kudanya, Rozinante yang gagah? Hikayat itu dengan jeli menyematkan Sancho dalam lakon Quixote. Bukan untuk apa-apa selain melengkapi kegagahan dan kegarangan tekad Don Quixote dengan kecintaan Sancho pada kedamaian. Saya akan menukil satu cuplikan bagaimana Don Quixote  menghendaki sikap keberanian dan Sancho menampilkan sikap kasih:
“Tuan, aku bukan orang yang suka berperang, seperti anda, tetapi orang yang cinta damai, mungkin seperti seorang suami dan ayah yang baik. Mohon catat itu dari sekarang bahwa aku akan memaafkan semua orang, yang telah atau akan, menjadi musuh-musuhku, apakah mereka bangsawan, raja, atau orang biasa.”

Don Quixot gerah mendengar semua ini. “Apa kau pengecut! Bagaimana kau bisa memimpin sebuah pulau atau karajaan? Seorang pemimpin besar harus tidak takut pada apa atau siapa pun.”
Dari sana kita melihat bahwa memang kedua petualang itu saling melengkapi. Dimana yang satu bersemangat untuk mendobrak ke sana dan ke mari sedang yang yang satunya lagi menenangkan dobrakan itu. Terlepas dari kenyataan bahwa Don Quixote gila dan Sancho mengetahui kegilaannya, Sancho tetap mendampingi Don Quixote. Pertanyaan demi pertanyaan muncul jika kita mengikuti cerita ini, karena memang itu tujuannya: membangkitkan pertanyaan. Hikayat ini bukan saja mengemukakan gagasan yang nyeleneh, tapi juga menularkan imajinasi itu sendiri.

Di awal cerita, kita akan menemukan bahwa seolah-olah imajinasi adalah sesuatu yang terkutuk dan mengantarkan pada kegilaan dan penderitaan. Kemuakan pada narasi awal cerita ini mungkin dialami para pembaca dan memutuskan untuk berhenti. Karena buat apa, toh isi ceritanya hanya kelakar dan olok-olok pada hidup yang teratur, tenang, meski tanpa gairah sama sekali. Kesabaran dibutuhkan untuk membaca hikayat konyol ini—tentu saja dengan sejumlah imajinasi yang aktif dan liar untuk mengimbangi kegilaan kisah petualangan Don Quixote sendiri.

“Hidup memang selimbur kejutan.” Demikian Sancho berujar pada Don Quixote. Dan kita, pembaca, juga menemukan cerita itu meledak-ledak penuh kejutan, penuh dengan semangat. Ada yang coba dihidupkan dari diri manusia, dibangkitkan. Menghidupkan sesuatu yang mati bukan perkara mudah, darah hanya menyatu dengan darah. Karenanya kisah berdarah-darah ditonjolkan. Pertanyaan lagi; apa yang mati dalam hikayat ini selain realitas yang menjadi banal dan tanpa gairah? Jawabannya tergeletak begitu saja ketika kita masuk dalam cerita: buku. Kita tahu bahwa buku bukan hanya benda mati dalam kisah ini, tapi justru yang sangat berperan dalam keseluruhan cerita. Sebuah buku adalah gerbang dunia, kata beberapa orang. Di dalamnya termaktub lebih dari selaksa pengetahuan, lebih dari tumpukan asumsi dan lebih dari sekedar imajinasi.

Jika dikatakan bahwa sebuah buku memiliki realitasnya sendiri. Ya, Don Quixote menampilkan itu. Jika dikatakan bahwa buku merupakan sumber pengetahuan—bahkan membentuk sikap. Jawabnya, ya, karena Don Quixote menunjukkan itu. Jika dikatakan bahwa buku juga terkutuk karena mengajarkan manusia untuk berimajinasi liar, mencoba hal yang baru. Jawabannya tentu, ya, Don Quixote hidup dengan itu semua. Di titik ini perlu kita kembali pada pengarang, Seyyed Ahmad atau pada Miguel De Cervantes.

Hikayat ini, yang terpublikasi secara luas pada paruh abad pertengahan atau awal Renaisans menyuarakan pekik yang tajam pada revolusi. The Dark Age dalam hal ini menjadi momok dimana kemandegan terjadi bahkan dalam ranah-ranah spiritualitas. “Takhayul,” seperti dikatakan penyair Renaisans Francis; Voltaire mengungkapkan bahwa sedang “membakar dunia.” Bahwa tak ada celah dimana hidup manusia tanpa takhayul. Sialnya, takhayul ini tak mentransendensi pikiran ke ranah yang lebih ningrat, lebih tinggi. Ia meluluhlantakkan manusia menjadi makhluk pendamba kepatuhan buta, taklid yang tak asyik.

Di zaman itu, agama adalah kekuasaan. Spiritualitasnya hilang oleh ketamakan dan kehendak yang mencengkeram. Terkahir dari kampiun gila zaman tegang itu adalah Nietzsche yang segila Don Quixote dengan lakonnya yang gagah membakar berhala di alun-alun pasar: Zarathustra. Kelak, Zarathustra coba dibangkitkan dan dikembalikan ke gelanggang pasar oleh Herman Hesse di awal abad 20 demi mengingat satu hal yang luput dari manusia: bangkitnya tragedi yang sia-sia akibat perang dunia dan terdegradasinya manusia sedemikian rupa.

Oleh karena itu tak syak lagi bahwa Don Quixote sedang mengupayakan kesadaran dan iman. Kita juga melihat, cintanya Quixote pada Dulcienna melimpah tak bersebab tak berpangkal. Cintanya itu juga merupakan iman yang pancang pada pengabdian: atau kegaiban yang purna. Sedang kegilaannya mengiktibarkan pada kita bahwa hidup manusia bukan hanya sekedar hari-hari yang berulang tanpa gairah, tanpa isi.

Jika kisah ini dikontekstualisasi dengan realitas hari ini, bagaimana jadinya? Jika kemengulangan hari-hari sudah lagi tanpa ruh, jika iman telah lagi tanggal satu-satu, jika buku tak lagi seksi dan menarik untuk ditelaah dan dibaca, jika tak ada lagi penghayatan, wahyu menjadi perebutan kepentingan, cinta tak berpangkal pada spiritualitas dan pembebasan—singkatnya realitas banal tanpa kedalaman—apa yang harus kita lakukan? Saya sarankan kita perlu sedikit meniru Don Quixote De La Mancha.[]

Pernah Dimuat Di : Radar Sumedang.
Read More